Beberapa Kendala Usulan Kompleks Parlemen Jadi RS Darurat, Dipaparkan Sufmi Dasco

Wakil Ketua DPR RI Sufmi Dasco Ahmad (kanan) bersama sejumlah Anggota DPR RI memeriksa langsung ke beberapa tempat atau ruangan yang dimungkinkan dijadikan ruang perawatan Covid-19 di Gedung DPR RI, Senayan, Jakarta, Senin (12/7/2021).

Jakarta, b-Oneindonesia – Wakil Ketua DPR Sufmi Dasco Ahmad, bersama  Sekjen DPR Indra Iskandar melakukan meninjau langsung kesiapan atas banyaknya usulan Gedung DPR RI untuk dijadikan sebagai Rumah Sakit Darurat COVID-19. Pengecekan ini dilakukan pada hari Senin 12 Juli 2021.

Dasco mengatakan telah melakukan pengecekan di sejumlah ruangan yang diusulkan untuk menjadi ruang rawat darurat pasien COVID-19.

Sejumlah ruangan yang diusulkan adalah ruang rapat paripurna dan juga Gedung Nusantara I, yang merupakan kantor Anggota DPR yang memiliki 23 lantai.

“Saya tadi mengajak wartawan langsung meninjau, pertama tadi diusulkan ruang bangsal itu paripurna, tadi saya sudah ajak kesana. termasuk mencoba memasukan bangsal itu ke dalam lift muat atau enggak. Ternyata tadi teman-teman wartawan sudah melihat kalau fasilitas lift itu tidak memungkinkan tempat tidur masuk, karena itu tidak desain,” kata Dasco

Lift yang berada di gedung DPR, sering mengalami macet dan juga tidak didesain untuk mengangkut tempat tidur pasien COVID-19. Jika memang ingin dialihfungsikan untuk RS Darurat COVID-19, maka tidak dapat digunakan secara instan, harus dilakukan sejumlah ubahan dalam gedung tersebut.

“Saya juga sudah lihatin tadi, satu lantai ada 30 ruangan, satu ruangan bisa dipasang dua tempat tidur tapi satu lantai itu cuma punya satu kamar mandi. lalu kemudian harus dibongkar total itu ruangan. Itu kalau mau dijadikan RSD, kalau darurat enggak bisa cepat,” kata Dasco

Dasco mengatakan, Pimpinan DPR RI sebenarnya tidak keberatan jika memang Gedung DPR RI ingin digunakan sebagai RS Darurat COVID-19. Namun dia juga telah memberikan penjelasan mengenai kondisi Gedung DPR RI saat ini.

“Kita bukan enggak mau, kita mau. tapi secara teknis memungkinkan enggak? Makanya kita lihat tadi, kita bukannya dibilang enggak mau, lalu dibilang tidak empati kepada masalah yang ada. Tapi kesiapan teknis kita tinjau dulu, bisa enggak dan karena itu kita ajak teman-teman wartawan untuk melihat dan menyimpulkan secara teknis siap atau enggak, kan gitu,” ujarnya.

Ketua DPD RI: Banyak yang Harus Dipertimbangkan Bila Gedung Parlemen Jadi RS Darurat Covid-19

Usul agar gedung parlemen di Senayan dijadikan rumah sakit (RS) Darurat Covid-19, dinilai Ketua DPD RI, AA LaNyalla Mahmud Mattalitti, harus dikaji terlebih dahulu. Sebab, ada banyak hal yang harus dipertimbangkan bila kompleks parlemen digunakan untuk merawat pasien.

Usul agar kompleks parlemen yang menjadi kantor bagi DPR, MPR, dan DPD RI, dijadikan sebagai RS Darurat disampaikan Fraksi Demokrat. Ide tersebut dilontarkan menyusul banyaknya rumah sakit yang penuh lantaran melonjaknya kasus Covid-19.

“Untuk menjadikan kompleks parlemen sebagai rumah sakit darurat tempat perawatan pasien Covid-19 harus dikaji secara mendalam. Kita harus ukur unsur efektivitas dan efisiensinya,” tutur LaNyalla, Selasa (13/7/2021).

Senator asal Jawa Timur itu mengakui banyaknya rumah sakit yang penuh dampak tingginya kasus Covid. Namun LaNyalla mengingatkan, ada banyak pertimbangan untuk memilih suatu lokasi menjadi rumah sakit darurat.

“Apakah memungkinkan lokasi tersebut menjadi rumah sakit darurat. Kita harus memikirkan aksesibilitasnya, sarana/prasarana maupun fasilitas yang ada apakah bisa mendukung. Bagaimana dari segi perawatan dan sanitasinya, serta banyak hal lainnya. Kita harus memperhitungkan juga pengelolaan limbah medis agar tidak menimbulkan masalah baru,” jelasnya.

Menurut LaNyalla, apabila infrastruktur di kompleks parlemen tidak memadai dijadikan sebagai rumah sakit darurat, pemerintah justru akan mengeluarkan dana yang besar jika harus mempersiapkan segala kebutuhan yang ada. Tentunya dari segi anggaran, hal ini justru tidak akan berjalan efisien.

“Apalagi kompleks parlemen merupakan objek vital negara yang pengamanannya pun dilakukan secara khusus. Akan memerlukan persiapan yang ekstra, baik dari segi keamanan dan kenyamanan, bila kemudian disulap menjadi rumah sakit darurat,” kata LaNyalla.

Meski begitu, LaNyalla menilai usul Fraksi Demokrat bukannya tidak mungkin dilakukan. Hanya saja, pertimbangan dan persiapan harus betul-betul dilakukan secara matang.

“Setiap aspirasi untuk keselamatan masyarakat pastinya sangat baik. Saya juga memahami usul tersebut merupakan bentuk kepedulian teman-teman di Demokrat yang ingin menunjukkan kepedulian wakil rakyat dalam kondisi seperti ini. Tapi mari kita serahkan kepada pemerintah, dalam hal ini Kementerian Kesehatan, untuk berhitung apakah efisien dan efektif bila kompleks parlemen menjadi salah satu lokasi rumah sakit darurat bagi pasien Covid-19,” tuturnya.

Menanggapi usulan tersebut, Setjen DPR RI telah melakukan simulasi. Hasilnya, ditemukan sejumlah kendala yang membuat sulit apabila kompleks DPR dijadikan lokasi RS Darurat pasien Corona.

Beberapa kendala seperti bed pasien yang tidak dapat dimasukkan ke lift. Kemudian ruang paripurna yang diusulkan menjadi bangsal, struktur lantainya menurun atau tidak rata sehingga tidak memungkinkan untuk ditaruh tempat tidur pasien.

Gedung-gedung di kompleks parlemen yang usianya sudah tua juga dianggap tidak ideal untuk menjadi lokasi perawatan. Bila membongkar ruang para wakil rakyat agar bisa dijadikan kamar pasien, pastinya akan membutuhkan waktu yang tidak sebentar.

Dari simulasi tersebut, tempat yang paling memungkinkan untuk digunakan sebagai lokasi rumah sakit darurat adalah lapangan seluas 80×90 meter yang berada di depan gedung Nusantara I. Di lokasi tersebut bisa dibangun tenda-tenda darurat untuk perawatan pasien Covid.

“Tapi kembali lagi harus dipikirkan fasilitas serta sarana/prasarana penunjang lainnya seperti kamar mandi dan ruangan yang lebih proper jika ada kasus-kasus sulit,” ucap LaNyalla.

Saat ini, pemerintah sedang menyiapkan berbagai tempat yang memungkinkan dijadikan RS Darurat. LaNyalla menyarankan agar tempat-tempat pelatihan milik pemerintah diubah menjadi tempat perawatan pasien Corona.

“Pemerintah, baik pusat maupun daerah, punya banyak tempat pendidikan dan pelatihan yang saya yakin dalam kondisi pandemi ini, fungsinya belum banyak digunakan. Kita bisa manfaatkan lokasi tersebut karena di balai-balai Diklat itu kan punya banyak ruang-ruang aula dan juga kamar-kamar bagi peserta diklat,” ujar mantan Ketua Umum PSSI itu.

LaNyalla juga menilai, pemerintah bisa memanfaatkan hotel-hotel maupun tempat penginapan untuk dijadikan tempat perawatan pasien Covid. Selain bisa menampung pasien, pemerintah dapat membantu pemasukan hotel-hotel dan penginapan yang sekarang ini sepi pengunjung.

“Daripada harus membangun sarana/prasarana yang baru, manfaatkan saja yang memang sudah ada. Hanya tinggal disesuaikan peruntukkannya. Jadi saya pikir untuk memilih lokasi RS Darurat harus rasional, efektif, dan efisien,” ujarnya.

Usulan Gedung DPR Jadi RS Darurat Ide Latah, Harusnya Tiru Puan Bantu Masifkan Vaksinasi

Usulan agar Gedung DPR dijadikan Rumah Sakit Darurat untuk pasien Covid-19 dinilai ide latah, yang cenderung sekadar ingin membuat sensasi dan bikin heboh ruang publik.

Sebab, kalau mau memanfaatkan kewenangan yang dimiliki, DPR secara kelembagaan jauh bisa lebih berkontribusi terhadap penanggulangan Covid-19, daripada sekadar menjadikan gedung Senayan menjadi RS Darurat.

Demikian penilaian Direktur Politik Sudut Demokrasi Riset dan Analisis (SUDRA), Rahmat Sahid, Selasa (13/7/2021) mengomentari usulan yang disampaikan influencer kesehatan, dr. Tirta Mandira Hudhi.

“Contoh konkret yang harusnya ditiru adalah apa yang dilakukan Ketua DPR (Puan Maharani) yang turun ke daerah untuk menyukseskan program vaksinasi dan pengawasan. Coba semua anggota Dewan melakukan itu, dan lakukan juga fungsi monitoring ke daerah-daerah, khususnya di dapil masing-masing apakah semua fasilitas rumah sakit khususnya milik pemerintah sudah optimal dalam melakukan pelayanan di tengah kondisi pandemi saat ini?” ungkap Rahmat.

Menurut Rahmat, apa yang sudah dilakukan Puan di Surabaya dengan membawa 30.000 dosis vaksin, serta 20.000 dosis vaksin untuk warga Jateng di Solo, Boyolali, Sukoharjo, dan Klaten, jika bisa dilakukan oleh semua anggota DPR, akan menjadi gerakan yang luar biasa dan sangat membantu percepatan program vaksinasi.

Bisa dibayangkan, kata Rahmat, jika satu anggota DPR membawa 50.000 dosis vaksin ke dapil masing-masing, maka jumlah populasi yang mendapatkan vaksin dari kerja-kerja DPR sudah mencapai 28 juta. Kerja-kerja konkret lain adalah dengan membawa program nyata terkait fasilitas kesehatan dan obat-obatan untuk masing-masing untuk daerahnya.

“Jangan malah latah dengan apa yang dilakukan Presiden Jokowi yang menjadikan Asrama Haji Pondok Gede sebagai RS Darurat kemudian mengusulkan Gedung Dewan juga dijadikan hal sama. Itu usulan yang tidak sebanding, dan malah sebaliknya, itu usulan yang tidak substantif,” kata praktisi komunikasi ini.

Rahmat melanjutkan, kalau yang dicari adalah area luar ruang (outdoor) yang luas untuk RS Darurat, kenapa usulannya Gedung DPR.

“Kenapa harus Gedung DPR yang masih aktif dipakai? Bukannya cari tempat lain yang sedang tidak terpakai?” papar Rahmat.

Lebih jauh, mantan aktivis mahasiswa Forum Kota (Forkot) ini mengatakan, kewenangan politik DPR tidak sebanding jika usulan terhadap lembaga tersebut cuma hal yang remeh-temeh dan hanya supaya pengusulnya terkesan berempati saat pandemi. Sebab, logikanya, kapasitas Gedung DPR jika dijadikan RS Darurat kualitas dan kuantitas perbantuannya tidak akan signifikan.

Menurutnya, DPR secara kelembagaan seharusnya tidak boleh terdesak menerima usulan tersebut hanya untuk meraih citra seolah lembaga tersebut peduli terhadap nasib rakyat.

“Masih banyak yang bisa dilakukan DPR untuk menunjukkan keberpihakannya terhadap rakyat di tengah pandemi ini. Jauh lebih optimal jika DPR secara kelembagaan, memaksimalkan peran dan kewenangannya untuk efektivitas penanggulangan Covid-19,” pungkasnya.

Komentar