Filep wamafma saat bertemu dengan Irjen. Pol. Dr. Tornagogo Sihombing, S.I.K., M.Si
Jakarta, b-Oneindonesia – Demonstrasi penolakan terhadap Otonomi Khusus (Otsus) dan pembentukan Daerah Otonom Baru (DOB) terjadi di sejumlah daerah baik di Provinsi Papua maupun Papua Barat. Namun, demonstrasi di Jayapura dan Manokwari pada 10 Mei kemarin sempat dibubarkan aparat keamanan.
Menyikapi hal ini, Senator Papua Barat Dr. Filep Wamafma S.H., M.Hum angkat bicara. Menurut Filep, aparat kemanan tidak seharusnya membubarkan kegiatan hingga melakukan penangkapan. Hal itu lantaran dianggap melampaui kewenangannya dalam menjaga demokrasi dan kebebasan menyampaikan pendapat bagi masyarakat Papua di muka umum.
“Sesungguhnya demokrasi di Papua masih lemah, khususnya berkaitan dengan penyampaian pendapat di muka umum. Kita harap polisi lebih humanis dan objektif. ” ujarnya, Selasa (10/5/2022).
Filep menilai dinamika politik di daerah saat ini juga terjadi akibat ketidakmampuan Pemerintah Pusat, dalam hal ini Kemendagri dan Kemenkopolhukam membangun komunikasi politik yang intensif ke daerah.
Ia juga memandang, ruang demokrasi di Papua telah ditutup rapat oleh aparat penegak hukum. Hal ini menurutnya sudah bertentangan dengan konstitusi negara yang menjamin kebebasan untuk menyampaikan pendapat. Situasi ini kemudian menjadi autokritik bagi pemerintah di era reformasi saat ini.
“Saya memandang bahwa persoalan ini tidak akan pernah selesai ketika pemerintah tidak bijak dan tidak adil dalam penanganan masalah politik di daerah. Situasi ini memunculkan pertanyaan besar bagi kita tentang kemampuan pemerintah pusat dalam mengelola persoalan politik lokal di Papua,” bebernya.
“Yang mengherankan adalah ketika lembaga-lembaga formal telah menyampaikan pandangannya kepada pemerintah yakni Menko Polhukam, Mendagri, Menteri PPN hingga kepada Presiden secara langsung, namun sampai dengan saat ini kita melihat bahwa pemerintah mengesampingkan aspirasi daerah dan cenderung otoriter,” sambungnya.
Filep berharap pemerintahan di bawah kepemimpinan Presiden Jokowi saat ini mampu menjaga harmoni, nilai-nilai kemanusiaan dan nilai-nilai demokrasi di Papua dengan baik sehingga jauh dari praktik-praktik Orde Baru yang sangat otoriter.
“Hal yang sangat disayangkan saat negara kita kembali mundur ketika berbicarademokrasi. Sudah semestinya nilai-nilai demokrasi berdampak signifikan khususnya di tanah Papua. Sehingga tidak ada lagi rakyat sipil yang jadi korban. Apalagi soal menyampaikan pendapat dan gagasan,” kata alumnus Unhas Makassar ini.
“Saya pikir sudah saatnya kita mengevaluasi bersama-sama tentang persoalan ini dan sebagai Senator kami sangat sayangkan dinamika politik lokal yang diselesaikan dengan pendekatan keamanan. Saya harap ada perhatian khusus dari Presiden, Panglima TNI dan Kapolri terkait dengan situasi politik daerah dimana pihak keamanan sangat agresif dan cenderung represif yang kemudian menimbulkan situasi politik yang tidak stabil,” tutur Filep.
KONTRAS Menyesali terjadinya Kekerasan Penanganan Demonstrasi
Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) mengecam penanganan demonstrasi tolak daerah otonomi baru (DOB) di Papua yang diduga menggunakan kekerasan, Selasa (10/5/2022).
Kontras menegaskan, penolakan terhadap DOB yang disuarakan masyarakat Papua adalah ekspresi yang sah dan konstitusional, sehingga tidak seharusnya menggunakan tindakan represi dalam penanganannya.
“Penyampaian pendapat di muka umum seharusnya ditanggapi lewat proses-proses yang dialogis, bukan represi terhadap massa aksi,” kata Wakil Koordinator Kontras, Rivanlee Anandar, Rabu (11/5/2022).
“Kekerasan yang terjadi di lapangan lagi-lagi mempertontonkan bahwa negara tak andal dalam menanggapi kritik publik, utamanya berkaitan dengan isu Papua,” lanjutnya.
Rivanlee menambahkan, tren selama ini, berbagai aspirasi yang disampaikan masyarakat Papua di jalan selalu direspons atau berujung kekerasan aparat. Hal ini seakan telah menjadi pola, termasuk pada aksi-aksi penolakan pemekaran wilayah, otonomi khusus, dan tindakan rasial.
Khusus pada aksi kemarin, kekerasan aparat berlangsung dalam berbagai bentuk.
Kontras menegaskan, berdasarkan Peraturan Kapolri Nomor 1 Tahun 2009, penggunaan kekuatan dalam tindak kepolisian bertujuan untuk mencegah, menghambat dan menghentikan tindakan yang diduga melakukan perbuatan melanggar hukum. Tetapi, yang terjadi, polisi justru menggunakannya untuk melukai massa aksi.
“Berdasarkan pemantauan dan informasi yang kami terima, terdapat beberapa tindakan seperti pembubaran paksa, pemukulan, pengejaran, penembakan, dan penangkapan sewenang-wenang,” ujar Rivanlee.
“Tindakan aparat di lapangan juga dapat dikategorikan sistematis, sebab didasarkan oleh perintah Polda Papua lewat Surat Telegram. Hal ini jelas merupakan bentuk pengerahan kekuatan secara berlebihan (excessive use of force). Hal ini membuktikan bahwa Kepolisian menempatkan demonstrasi sebagai ancaman yang serius,” jelasnya.
Komentar