Jakarta, b-oneindonesia- Wakil Ketua MPR RI Ahmad Basarah mengatakan, wacana menghadirkan kembali haluan negara merupakan rekomendasi dari dua periode MPR sebelumnya. MPR periode ini sepakat untuk mendalami dan menindaklanjuti wacana tersebut.
“Pimpinan MPR sepakat untuk menindaklanjuti rekomendasi MPR sebelumnya untuk mendalami dan menindaklanjuti menghadirkan kembali haluan negara dalam payung hukum amandemen ketetapan MPR,” ujarnya dalam acara diskusi Empat Pilar MPR di Media Center Parlemen, Jakarta, Jumat (6/12/2019).
Ahmad Basarah mengatakan dari 10 fraksi dan perwakilan DPD RI, 8 fraksi (termasuk DPD RI) setuju haluan negara dihadirkan lewat amandemen terbatas dan 3 fraksi setuju tapi lewat mekanisme undang-undang.
“Saya tidak melihat perbedaannya, mencoba melihat persamaannya adalah seluruh fraksi partai politik sama-sama merasakan perlunya hadir kembali haluan negara, haluan pembangunan nasional,” jelasnya.
“Maka itu, kita sama-sama merasakan bahwa sistem ketatanegaraan kita, terutama mengenai aspek pembangunan nasional pasca dihapusnya wewenang MPR untuk membuat wewenang haluan negara, kami anggap tidak baik untuk melanjutkan kesinambungan pembangunan nasional Indonesia,” jelasnya.
Sistem undang-undang yang menjadi payung hukum pembangunan nasional saat ini, menurut Basarah hanya bersifat eksekutif sentris. Hanya memberikan guidance kepada pemerintah.
“Padahal tujuan pembangunan bangsa Indonesia bukan hanya tanggung jawab pemerintah, tapi setidaknya lembaga-lembaga yang berwenang seperti bersifat konstitusional, ada DPR, DPD, MK, kemudian KY, sama-sama punya tanggung jawab untuk mencapai pembangunan bangsa indonesia,” jelasnya.
Kelemahan lain, kata Basarah, undang-undang tersebut tidak memberikan guidance antara visi dan misi capres maupun calon kepala daerah jika terpilih dengan apa yang ditetapkan menjadi RPJMN dan RPJMD.
“Walhasil konsepsi pembangunan pusat dan daerah hanya bersumber pada visi capres, atau cagub atau lainnya, berjalan sendiri-sendiri. Terjadilah diskoneksitas pembangunan nasional,” ucapnya
“Kelemahan lain tidak memberikan sanksi manakala pemerintahan yang berhenti karena alasan 2 periode atau alasan lain tidak dilanjutkan kepala pemerintahan berikutnya, karena tidak ada kewajiban. Muncul egosektoral, ego kepentingan partai pengusung tidak melanjutkan apa yang pemerintahan sebelumnya dilakukan,” jelasnya.
Maka itu, Basarah menjelaskan mengapa perlu diamandemen terbatas untuk menghadirkan amandemen negara untuk memberikan kedudukan dan agar menjadi undang-undang yang mengikat di bawahnya guna mengikuti roadmap pembangunan nasional yang ditetapkan.
“Siapapun presidennya, gubernurnya, bupatinya boleh menjalankan varian pembangunan, tetapi tidak boleh menginterupsi roadmap pembangunan indonesia. Contoh Pak Jokowi dengan pembangunan pindah ibu kota, hitungan kasar memindahkan ibu kota tidak cukup masa periode Pak Jokowi,” ucap Basarah.
“Kalau kemudian Pak Jokowi berhenti, dan ada presiden dari partai politik lain, maka presiden penggantinya tidak punya kewajiban melanjutkan program Jokowi. Hanya karena selera presiden, dana yang sudah digelontorkan itu sayangkan,” jelasnya.
Untuk itu, kata Basarah, Fraksi PDIP di MPR menganggap urgensi amandemen hanya terbatas pada pasal 3 UUD 1945 menambah frase kalimat di mana di sana berbunyi wewenang MPR merubah dan menetapkan UU, ditambah frasa berwenang menetapkan haluan negara.
Komentar