Jakarta, b-Oneindonesia – Ada beberapa hal menarik ketika mencermati apa yang terjadi dalam acara gelar pengarahan Pilpres 2024 yang diselenggarakan oleh DPD PDIP Jateng yang dihadiri oleh Puan Maharani sebagai Ketua DPP, tidak diundangnya Ganjar sebagai kader PDIP yang sekaligus menjadi Gubernur Jateng dan juga sejumlah pernyataan yang disampaikan oleh Puan Maharani dan Bambang Wuryanto, Ketua DPD PDIP Jateng. Dari perspektif marketing politik, ada empat hal yang menarik dibalik fenomena tersebut.
Pertama, dinamika di internal PDIP terkait dengan bursa Capres/Cawapres dalam Pilpres 2024 mendatang tampaknya kian hangat dan memanas. DPP PDIP tampak makin terbuka untuk mengingatkan para kader nya khususnya yang menjadi publik figure popular dan memiliki potensi elektabilitas tinggi agar tidak ‘off side’. Kritik yang disampaikan oleh Bambang Wuryanto ke Ganjar Pranowo mengindikasikan hal tersebut.
Kedua, dalam Pilpres 2024 mendatang, PDIP tampaknya memiliki orientasi yang berbeda dengan parpol-parpol lainnya, dan berbeda dengan apa yang pernah dilakukannya dalam Pilpres 2014 dan 2019 lalu, dengan mencalonkan sosok yang lebih popular dan memiliki elektabilitas tinggi seperti Pak Jokowi. Arah PDIP untuk Pilpres 2024 mendatang tampaknya makin jelas dengan untuk menjagokan figure tertentu di luar sosok popular seperti Ganjar Pranowo.
Ketiga, dukungan pasar politik internal di PDIP terhadap Ganjar Pranowo tampak masih belum aman. Bukan tidak mungkin, nasib Ganjar Pranowo untuk dapat memaksimalkan karir politiknya melalui PDIP sudah di ujung tanduk. Meski memiliki tingkat elektabilitas yang cukup tinggi, Ganjar berpotensi kehilangan peluang untuk mendapatkan tiket dari PDIP agar bisa masuk dalam bursa Pilpres 2024 mendatang. Sebagaimana yang dipotret oleh sejumlah lembaga survey, termasuk Indonesian Presidential Studies (IPS), Ganjar selama beberapa bulan terakhir tampak makin popular dan tingkat elektabilitasnya juga cukup tinggi melampau deretan sejumlah publik figure dan para tokoh pimpinan partai, termasuk Puan Maharani sendiri. Data survey IPS Awal April 2021, untuk 30 nama Capres, menunjukkan bahwa elektabilitas Ganjar sebesar 14.4 %. Elektabilitas ini berada di urutan no dua setelah Prabowo (25.4 %). Dalam bursa Cawapres, untuk 30 nama, Ganjar juga berada di urutan nomor 3, yaitu 8.3 %, setelah Anies Baswedan (12.8%). Tingkat elektabilitas ini juga tidak banyak mengalami perubahan untuk survey dengan 18 dan 10 nama Capres dan Cawapres. Kendati demikian, potensi elektabilitas Ganjar ini tidak akan bermakna, jika Ganjar gagal mendapatkan dukungan internal dari pimpinan PDIP.
Keempat, apa yang disampaikan oleh Puan Maharani sebagai Ketua DPP PDIP menunjukkan bahwa PDIP mengedepankan model pemasaran politik traditional yang berbasis pada ideologi parpol. Di sini parpol ditempatkan sebagai elemen terpenting. Parpol yang menganut model pemasaran ini biasanya lebih mengedepankan kinerja kolektif organisasi parpol sebagai produk politik utamanya, dibandingkan citra dan kinerja para publik figure yang dimiliki oleh/menjadi kador parpol yang selama ini menduduki jabatan publik, termasuk kepala daerah/gubernur.
Model pemasaran politik seperti ini bisa saja efektif jika didukung dengan syarat-syarat berikut. Syarat Pertama, parpol memiliki tingkat Party ID yang kuat. Dibandingkan dengan Partai-partai lainnya, Partai ID pemilih PDIP secara umum lebih besar/kuat. Namun, para pemilih PDIP yang memiliki party ID kuat tersebut secara umum belum merata di seluruh Indonesia. Mereka yang memiliki party ID kuat tersebut masih ada di Jawa, khususnya di Jawa Tengah. Meski demikian, untuk syarat yang pertama ini, PDIP secara umum memiliki modal yang cukup baik.
Syarat yang Kedua, PDIP mampu menata struktur organisasi kepartaiannya tidak hanya sebagai organisasi parpol, namun juga menjadi mesin pemasaran politik yang efektif dan penetrative. Mesin ini juga harus gesit di berbagai jenis lapangan/arena politik, bukan hanya di media sosial saja. Untuk mencapai ini, para elit PDIP dituntut mampu melakukan penetrasi pasar politik secara intens ke kalangan masyarakat luas melalui berbagai jenis interaksi langsung. Namun di tengah menguatnya penggunaan berbagai jenis platform sosial media dan dalam situasi pandemic saat ini, penggunaan sosial media kian tak terelakkan. Selain itu, tanpa memaksimalkan penggunaan media sosial, penetrasi pasar PDIP di kalangan anak-anak muda kian terbatas. PDIP bisa saja mampu mendapatkan dukungan besar dari para pemilih tua, namun bisa kurang popular di kalangan anak muda.
Syarat Ketiga, para elit PDIP, khususnya yang menjadi publik figure atau menjabat di lembaga-lembaga Negara/Pemerintahan mampu lebih memasarkan partainya, dibandingkan dengan dirinya. Dalam hal ini, mereka dituntut memiliki semangat kolektif untuk lebih mengedepankan visibilitas kinerja PDIP sebagai sebuah parpol dalam panggung politik local dan nasional dibandingkan kinerja dirinya sebagai personal. Kritik yang disampaikan oleh Bambang Wuryanto ke Ganjar Pranowo (agar tidak terlalu ambisius masuk dalam bursa Capres 2024) sepertinya dapat kita baca sebagai warning bagi semua kader PDIP yang saat ini menjadi pejabat publik, khususnya memiliki popularitas dan elektabilitas yang tinggi, agar lebih mampu ‘memasarkan’ parpolnya, bukan sekedar ‘memasarkan’ dirinya saja. Namun, hal tersebut sepertinya tidak mudah, karena dalam panggung politik local dan nasional saat ini, visibilitas profil dan kinerja elit-elit parpol, khususnya yang menjadi pejabat publik di lembaga eksekutif, lebih menonjol, dibandingkan visibilitas kinerja organisasi parpolnya.
Nyarwi Ahmad, PhD
Direktur Esekutif Indonesian Presidential Studies (IPS)-Jakarta
Komentar