Dr. Filep Wamafma, SH., M.Hum
Senator Papua Barat
Jakarta, b-Oneindonesia – Gegap gempita PON XX yang sukses diselenggarakan di Tanah Papua, meninggalkan kesan positif bahwasanya Papua mampu mengkoordinasi suatu event besar bangsa. Beberapa pengamat politik menyampaikan bahwa keberhasilan PON tersebut menunjukkan cita rasa persatuan dan kesatuan bangsa. Menkopolhukam, Mahfud MD pun turut berkomentar, bahwa penyelenggaraan PON XX ini membuktikan bahwa Papua aman-damai dan Papua cinta NKRI.
Semua pujian di atas patut diapresiasi, lantaran nama Papua dalam beberapa bulan terakhir hampir selalu dikaitkan dengan pertempuran antara TNI dan KKB. Akan tetapi, apakah semua pujian tersebut menjadi penutup mata bagi pengelolaan SDA Papua yang dilakukan Pemerintah? Satu peristiwa besar pengelolaan SDA Papua yang terjadi dalam waktu yang sama dengan kesuksesan PON XX ialah pembangunan Smelter di Gresik.
Pembangunan ini cukup mengagetkan karena Pemerintah pernah berjanji akan membangun Smelter di Papua. Alasan bahwa Papua belum siap untuk dibangun Smelter, akhirnya meruntuhkan slogan “Torang Bisa” di PON Papua dan seperti tergantikan oleh kenyataan bahwa “Tong tra bisa bangun Smelter”.
Tentu kesuksesan PON XX di Papua tidaklah sia-sia, dan penghargaan setinggi-tingginya diberikan kepada Pemprov Papua. Namun dengan disandingkannya fakta bahwa Smelter tidak dapat dibangun di Papua, sama saja dengan menyatakan bahwa “Papua tra bisa”.
Apakah semua pujian keberhasilan PON Papua hanyalah kamuflase untuk pembangunan Smelter agar tidak terlalu hingar-bingar? Pikiran masyarakat awam hanya bisa menebak. Celakanya, hingga kini belum ada posisi tawar Papua yang diperhatikan terkait pembangunan Smelter di Gresik.
Perubahan Kontrak Karya (KK) ke Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) dalam hubungan dengan Freeport, menyebabkan pembangunan Smelter menjadi keharusan. Sebagaimana diketahui, IUPK izin untuk melaksanakan usaha pertambangan di wilayah izin usaha pertambangan khusus. Pasal 76 UU Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (UU Minerba) menyatakan bahwa IUPK terdiri dari 2 (dua) tahap, yaitu IUPK Eksplorasi meliputi kegiatan penyelidikan umum, eksplorasi, dan studi kelayakan; dan IUPK Operasi Produksi meliputi kegiatan konstruksi, penambangan, pengolahan dan pemurnian, serta pengangkutan dan penjualan.
IUPK Operasi Produksi yang dilakukan Freeport melalui pembangunan Smelter di Papua sebagai suatu keharusan berdasarkan UU Minerba, seharusnya tidak mengesampingkan posisi Papua sebagai pemilik tambang. Mengapa? Karena Pemerintah sudah menjanjikan hal tersebut! Jadi salah siapa bila Papua disebut belum siap untuk pembangunan Smelter?
Apabila diurai berdasarkan asas kemanfaatan, maka pembangunan Smelter di Papua sangat bermanfaat dibandingkan dengan penyelenggaraan PON Papua. Namun perbandingan semacam itu akan mencederai seluruh pesta olahraga tersebut. Yang jelas, Pemerintah melupakan hal paling mendasar dari kehidupan Orang Papua, yaitu kesejahteraannya dari kekayaan hasil tambang.
Bukankah sudah terbukti bahwa semasa pandemi, ekonomi Papua justru membaik dari faktor pertambangan? Jadi, setengah hatikah membangun Papua? Semoga Smelter yang dibangun di Gresik, tidak melupakan asal di mana hasil tambang itu berasal.
Komentar