“Drakor Fufufafa”

By: Tony Hasyim, Wartawan Senior Forum Keadilan

Jakarta, B-Oneindonesia.com –  Baiklah, anggap saja pemilik akun “fufufafa” adalah Gibran Rakabuming Raka. Lantas kalian para pengais jejak digital maunya apa?

Mau mempidanakan Gibran? Lapor ke polisi supaya Gibran dipidana? Ya tidak bisa. Karena yg punya legal standing untuk melaporkan delik penghinaan, pencemaran nama baik, fitnah dan sejenisnya adalah korban. Yaitu Prabowo Subianto.

Atau kalian mau menceraikan Dwitunggal Prabowo-Gibran?
Lantas posisi Gibran mau kalian ganti dengan Anies, Gandjar atau Puan Maharani? Apa semudah itu? Apakah parpol-parpol KIM Plus itu setuju dengan niatmu?

Jejak digital seperti ranjau darat yang dipasang pasukan Zeni untuk menjebak musuh. Dia harus mencatat koordinatnya agar sewaktu-waktu, jika perang berakhir, bisa dijinakan oleh dirinya sendiri atau orang lain.

Penemuan “ranjau fufufafa” ini bukan hal yang kebetulan. Pelakunya mudah diusut. Karena dialah yang sebenarnya mengais-ngais bom ranjaunya sendiri untuk dijadikan amunisi menyerang Gibran yang asli.

Akun ini juga tidak pernah populer dan jadi trending pada masanya. Tapi sekarang dia angkat kembali agar menimbulkan geger di media sosial.

Tapi karena pasukan yang kalah di Pilpres kemarin ngotot dengan keyakinan dan imajinasinya sendiri ya sudahlah. Tidak ada yang bisa melarang kalian asyik menjadi detektif digital.

Sekarang, taruhlah Gibran yang asli mengakui perbuatannya.

Bagaimana jika Prabowo langsung memaafkan dan memeluknya? Apakah kalian sudah siap meraung-raung lagi sambil bercucuran air mata seperti menonton “Drama Korea”?

Setelah ini apa lagi? Setelah gagal dan gagal, kalian pasti tidak akan berhenti mengais-ngais amunusi baru untuk menyerang pemenang Pilpres bukan?

Mayoritas rakyat sebenarnya ingin kita semua bersatu lagi. Tapi sistem demokrasi memang tidak bisa melarang aktivitas pegiat perselisihan politik.

Prabowo dan Gibran akan baik-baik saja. Gibran memang masih anak kemarin sore, Tapi Prabowo bukan.

Prabowo terlalu kuat untuk dihasut. Dia prajurit Kopassus, daging dan tulangnya keras karena berpuluh-puluh tahun disiksa oleh latihan dan perang.

Tapi bukan kekuatan fisik yang membuat dia luar biasa. Kekuatan jiwanya itulah yang membuatnya sangat kokoh.

Ketulusan dia memaaafkan dan merangkul semua bekas musuh politiknya membuat mayoritas rakyat Indonesia “meleleh” di Pilpres 2024.

“Prabowo have a big heart”. Itu kata kawan saya seorang wartawan Bule Jerman. Lantas saya komentari. “Prabowo is more than you know, comrade!”

Prabowo adalah manusia otentik. Dia tidak suka berselisih dengan sesama manusia bahkan dengan binatang.

Prabowo sayang binatang sudah menjadi pengetahuan umum. Tapi banyak yang belum tahu dia melarang keras para staf di kediamannya membunuh ular, tikus dan semua binatang liar yang masuk ke kediamannya. Instruksinya tegas, harus ditangkap hidup-hidup dan dikembalikan ke habitatnya.

Prabowo, bukan hanya memelihara kucing, kuda dan kambing, tapi juga memelihara semut. Pernah lihat orang asyik memberi makan semut dengan butiran gula? Mainlah ke rumah Prabowo di Hambalang.

Si wartawan Bule itu langsung “speechless” mendengar cerita saya.

Urusan dihina dan difitnah, Prabowo sudah terlalu kenyang. Prabowo, begitu juga Jokowi sebenarnya adalah sama-sama korban dari “sistem Pilpressung”.

Karena presiden dipilih langsung oleh ratusan juta rakyat, mau tidak mau jutaan rakyat, tua muda, miskin kaya, terpaksa ikut-ikutan mengkampanyekan idolanya.

Demokrasi kita sangat bebas. Rakyat tidak dilarang berkampanye dengan narasi sesukanya. Tidak peduli fakta atau hoaks yang penting idolaku menang. Itulah yang terjadi selama kampanye Pilpres 2014 dan 2019.

Gibran mungkin saja terlibat dalam masa-masa kampanye brutal tersebut. Apalagi bapaknya dituduh PKI, dituduh Katolik, dituduh Cina, dan dituduh macem-macem.

Gibran yang masih polos di tahun 2014, sudah tentu ngamuk-ngamuk seperti para pencinta Jokowi yang lain.

Tapi bentrokan antara hooligan digital Jokowi vs Prabowo itu sudah selesai setelah Piplres 2019. Prabowo dan Jokowi sudah berpelukan dan sepakat berkolaborasi.

Demi apa? Supaya kalian, saya, kita jutaan rakyat yang emosinya terbakar gara-gara Pilpressung ini berdamai. Supaya kita tidak perang saudara.

Harusnya, meskipun keadaan negara belum sesuai harapan, kita turut merayakan perdamaian nasional ini. Karena kita sudah terhindar main kejar-kejaran, gebuk-gebukan, bahkan bunuh-bunuhan seperti kejadian di negara-negara demokrasi primitif di benua lain.

Untuk Mas Jokowi, dengan ini saya juga mohon maaf lahir dan bathin karena saya juga pernah ikut-ikutan membully Anda. Tapi itu terpaksa saya lakukan karena pendukung anda menyerang Prabowo secara brutal.

Sekarang saya sudah bisa duduk dan ngopi-ngopi lagi dengan banyak pendukung militan anda yang sebenarnya sudah menjadi sahabat saya sebelum Pilpres 2014.

Kita semua adalah korban drama politik. Tapi dalam kenyataan sehari-hari kita sama-sama puyeng memikirkan masa depan negara kita.

Karena keadaanya memang seperti yang pernah anda bilang “Ruwet, ruwet, ruwet…”

Tapi kita percaya semua keruwetan pasti bisa diatasi jika kita mau berhenti berselisih.

Jakarta 14 September 2024

Komentar