Hashim Djojohadikusumo & Masa Depan Pribumi di Indonesia

Oleh:  Dr. Syahganda Nainggolan, Sabang Merauke Circle

Jakarta (B-Oneindonesia.com) – Hashim Djojohadikusumo (HDj) sebenarnya sangat ideologis dan memukau ketika berbicara di hadapan pengusaha properti beberapa hari lalu di Jakarta. Ideologis artinya dia menjelaskan bahwa pemerintahan ke depan, di bawah kendali Prabowo, akan menghadirkan kementerian perumahan rakyat dan akan membangun 15 juta rumah rakyat. Dalam 5 tahun. Jika kekuasaan Prabowo masih didukung rakyat, katanya, rumah rakyat akan terbangun sebanyak 30 juta.

Kekuatan ideologis dalam pernyataan HDj semakin dahsyat ketika dia secara gamblang mengatakan bahwa kesempatan berusaha disektor properti ini, terkait kehadiran kementerian perumahan, menghadirkan kebijakan afirmasi (affirmative policy).

Mayoritas pengusaha yang ikut bisnis tersebut adalah UMKM. Seperti diberitakan berbagai media, HDj mengatakan untuk perumahan di perkotaan, 9 naga sebuah sebutan untuk segelintir konglomerat kita, boleh ikutan. Di pedesaan tidak. Sedangkan naga-naga kecil silakan. Boleh. Namun, HDj menggarisbawahi bahwa PRIBUMI harus.

Selain ideologis, pernyataan HDj ini tentu memukau. Jika Prabowo berkuasa selama sepuluh tahun, maka perputaran bisnis di sektor perumahan adalah sebesar Rp 3000 Triliun sampai dengan Rp. 6000 Triliun (asumsi satu unit rumah subsidi berkisar Rp 100 juta- 200 juta). Tentu saja jumlah ini akan mampu menciptakan pengusaha pribumi menjadi kelas menengah baru di Indonesia. Begitu juga serapan tenaga kerja bisa mencapai jutaan pemuda di sektor ini.

Ideologi Djojohadikusumo sebenarnya sudah menjadi ikon “affirmative policy” yang sukses di masa dulu. Pada April 1955 Menteri Perdagangan Soemitro Djojohadikusumo, ayahnya Hasyim, dengan dukungan Mohammat Natsir, Perdana Menteri RI, menargetkan munculnya kelas pengusaha pribumi di Indonesia. Saat itu ketimpangan ekonomi warisan kolonial Belanda membuat kaum pribumi mayoritas menjadi pegawai dan koeli/budak. Belanda selama ratusan tahun menciptakan kaum pedagang adalah kalangan Tionghoa dan Arab.

Tentu saja kebijakan ini tidak dapat diterima oleh kaum Tionghoa. Hal ini dapat dimengerti karena kebijakan seperti ini dianggap mereka sebagai diskriminasi. Di masa itu, setelah Bung Karno “kembali berkuasa”, dengan faham sosialisme dan berkolaborasi dengan Peking, kebijakan ini dihilangkan. Soekarno lebih memilih jalan sosialisme tanpa mengkhususkan “affirmative policy” kepada kaum pribumi. Mohammad Natsir dan Djojohadikusumo tersingkir dari kekuasaan Soekarno paska Dekrit Presiden 1959. Akhirnya Djojohadikusumo membantu pemerintahan Malaysia menerapkan kebangkitan ekonomi kaum Melayu di sana, sebuah Affirmative Policy, yang diterima semua golongan etnis.

Affirmative Policy versus Diskriminasi

Pada saat kebijakan affirmasi 1955 dulu, kesenjangan sosial berbasis etnik tentunya tidak separah sekarang. Dahulu, kalangan kaya adalah kaum eropa, khususnya Belanda, yang menguasai perkebunan, tambang dan perdagangan. Sekarang, kesenjangan etnis sesungguhnya mirip dengan pribumi versus VOC (Kompeni Belanda) dulu. Dan tentu saja kita tidak bisa merubah aturan, karena VOC berkuasa saat itu. Namun, jika sekarang yang berkuasa adalah bangsa kita, maka semuanya tentu dapat dibicarakan secara terbuka dan adil.

Soeharto dulu coba menggeser istilah pribumi versus non pribumi dengan penguatan koperasi dan UMKM. Affirmative Policy di era Soeharto ditandai dengan penggalakan peran KUD (Koperasi Unit Desa) dan koperasi lainnya. Selain itu, sektor perkebunan diatur kepemilikan inti plasma, di mana perusahaan hanya boleh menguasai lahan 20%. Selanjutnya pemerintah menggerakkan perbankan untuk mengalokasikan 20% plafon kepada UMKM. Selain itu, BUMN harus menyisakan labanya sebesar 5% untuk pembinaan UMKM dan koperasi.

Namun, Soeharto gagal menciptakan pemerataan. Sebab, pilihan jalan kapitalisme era Soeharto mendorong pertumbuhan tanpa pemerataan. Sehingga, diakhir eranya, ketimpangan kepemilikan kekayaan di Indonesia sangat dalam. Hanya sekitar 300 konglomerat, mayoritas non pribumi, menguasai 70% perputaran ekonomi nasional.

Situasi sekarang semakin parah. Sebab, selama era paska reformasi, melalui perubahan pasal 33 UUD 1945 yang asli, kapitalisme dan neoliberalisme menjadi ajaran resmi di Indonesia. Doktor-doktor ekonomi yang 25 tahun lalu masih ada segelintir yang berbasis teori ekonomi Pancasila, sekarang hampir semuanya kapitalis. Sehingga, ketimpangan sosial di Indonesia saat ini sudah sama dengan era kolonial, yang pribumi seperti budak dan VOC pemilik kekayaan. Sedangkan negara hanya berfungsi melayani kepentingan kapital.

Pertanyaannya, apakah pernyataan Hashim Djojohadikusumo tentang perlunya pribumi mendapatkan prioritas dapat dimaknai sebagai jalan lurus bagi bangsa kita?

Pernyataan ideologis Hasyim Djojohadikusumo tentunya harus disambut dengan perasaan terbuka. Target untuk mendorong adanya keadilan sosial, sebagaimana sila ke 5 Pancasila, harus selalu diulang dan diulang. Jika hal ini dianggap rasis, maka struktur ketimpangan sosial di Indonesia hanya akan menjadi beban kebersamaan kita sepanjang Indonesia ada, nantinya.

Kegagalan Soemitro Djojohadikusumo di era lalu, jika di tuduh gagal, bukan berarti kegagalan tanpa makna. Kebijakan affirmative itu tentu bukan bagian terpisah dari gerakan pemerataan lainnya.

Gerakan pemerataan Prabowo dalam konteks “memberi ikan” adalah program sosialis makan bergizi kepada 81 juta jiwa. Ini juga ada peluang untuk mendorong tumbuhnya pengusaha di level UMKM. Sedangkan “memberi pancing” adalah program membentuk lapisan pengusaha pribumi yang kuat. Dalam naungan ideologi yang sosialistik, penciptaan kelas menengah pribumi justru peluang keberhasilannya semakin tinggi.

Semoga pikiran-pikiran Hasyim Djojohadikusumo ini dapat mempercepat proses kebersamaan, persatuan bangsa dan sekaligus keadilan sosial sesungguhnya.

Komentar