Jakarta-b-oneindonesia–Indeks harga saham gabungan (IHSG) diperkirakan akan kembali menguat mencapai level 6.000 pada pertengahan 2021 di tengah merebaknya pandemi virus corona (Covid-19). Sektor saham yang akan pulih lebih dulu adalah informasi teknologi (IT), telekomunikasi, perbankan dan konsumsi.
“Saya kira ini sangat tergantung dengan durasi berapa lama pembatasan sosial berakhir,” kata analis pasar modal dari Koneksi Kapital, Alfred Naiggolan dalam video conference webinar bertajuk “Mendulang Profit dari Saham-Saham BUMN Pasca-Covid-19” di Jakarta, Minggu (26/04/2020).
Menurut Alfred, jika pada Juni atau Juli diprediksi Covid-19 memasuki fase puncak, maka pada kuartal tiga dan empat tahun ini akan mereda. “Jika demikian, maka akhir 2020 sulit menembus level 6.000 seperti yang terjadi di awal tahun, itu kemungkinan baru bisa terjadi di 2021,” kata Alfred.
Alfred meyakini, bahwa bottom IHSG sekitar 3.900an akibat pandemi sudah terjadi pada minggu keempat Maret 2020. “Dengan asumsi tidak ada gelombang kedua Covid-19, isu ke depan adalah realisasi terhadap dampak ekonomi, ini yang datanya belum ada,” kata Alfred.
Ia mengatakan, sektor saham yang akan pulih lebih dulu secara fundamental adalah informasi teknologi (IT) dan telekomunikasi, keuangan, serta konsumsi. Hal ini tercermin salah satunya dari kinerja laporan keuangan. Namun kenaikan harga saham kata dia, bisa saja ada jeda dengan kenaikan fundamental karena tergantung persepsi di market. “Bisa saja secara fundamental recovery duluan, tapi harganya menyusul. Kalau kinerja emiten bagus, paling tidak tekanan jual berkurang,” kata Alfred.
Sementara untuk saham perbankan, saham PT Bank Negara Indonesia Tbk (BBNI) memiliki valuasi lebih rendah sekitar 0,5-0,6 kali dibandingkan valuasi PT Bank Mandiri Tbk (BMRI) yang mendekati 1 kali dan PT Bank Rakyat Indonesia Tbk (BBRI) sebesar 1,6 kali. “Artinya BBNI masih murah, dan bisa jadi pilihan investor,” kata Alfred.
Dalam kesempatan yang sama Chief Economist CIMB Niaga, Adrian Panggabean menambahkan, kondisi pasar saham Indonesia saat krisis dipengaruhi tiga faktor yakni underlying market yang dinamis seperti pertumbuhan price book value (PBV) yang tergantung kondisi makro dan mikro ekonomi.
Faktor kedua adalah persepsi risiko. Selama persepsi risiko masih tinggi, maka market susah untuk rebound (naik). Hal lain adalah masalah likuiditas yang bisa diukur dari kapitalsasi, bid dan offer serta indikator lainnya. “Di pasar saham Indonesia, likuiditas diukur dari foregin (investor asing),” kata Adrian.
Komentar