Yogyakarta, b-Oneindonesia – Dosen Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, Herlambang P. Wiratraman menantang Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo untuk berdebat. Ia meminta Ganjar juga menyodorkan ahli yang bisa berbicara soal tambang andesit di Desa Wadas.
Ahli yang Ganjar percaya, kata Herlambang bisa dipertemukan dalam forum diskusi. “Pertemukan ahli yang dimaksud Ganjar dengan ahli yang warga tunjuk. Saya ingin tahu ahli itu ngomong apa. Berdebat,” kata Herlambang dalam diskusi virtual bertajuk Meretas Petaka Wadas yang digelar Pusat Studi Keamanan dan Perdamaian UGM, Jaringan Gusdurian, LBH Yogyakarta, dan AJI Yogyakarta pada Senin, 14 Februari 2021.
Proyek tambang andesit Desa Wadas tidak memiliki izin usaha pertambangan (IUP). Berdalih bagian dari proyek strategis nasional (PSN), pemerintah hanya mengantongi IPL Bendungan Bener sebagai jalan untuk mengeruk batuan hitam di perut Wadas di lahan seluas 114 hektare.
Herlambang juga menyebutkan sejumlah ahli punya argumen yang bisa mematahkan argumentasi Ganjar ihwal Wadas. Misalnya, soal potensi ancaman bencana longsor yang tidak menjadi pertimbangan pemerintah. Juga tentang peradilan yang perlu dikritisi.
Herlambang mendesak agar pemerintah membatalkan penambangan andesit di Wadas karena pemerintah mengambil material tanpa IUP. Ratusan akademisi bergabung dalam gerakan akademisi peduli Wadas.
Ada 100 akademisi dari 40 kampus yang ikut dalam gerakan itu. Mereka yang bergabung adalah Tim Kaukus untuk Kebebasan Akademik atau KIKA.
“Kami mengajak lebih banyak orang terlibat dalam gerakan akademisi peduli Wadas,” ujar Rina Mardiana, dari KIKA.
Herlambang melihat rencana proyek penambangan batuan andesit ini sebagai proyek yang manipulatif dan penuh kekerasan karena memaksakan warga untuk memenuhi ambisi proyek infrastruktur.
Ada sembilan kekerasan yakni penangkapan dan penahanan sewenang-wenang warga dan pengacara publik LBH Yogya, pemukulan, perampasan telepon seluler, perusakan poster, intimidasi dengan melepas anjing pemburu, intimidasi terhadap pembela HAM, dan intimidasi terhadap jurnalis.
Dia mendesak penegakan hukum terhadap kasus kekerasan yang menimpa 67 warga Wadas untuk mengakhiri mata rantai impunitas.
Menurut dia, tindak kekerasan itu tidak cukup hanya dengan ucapan permintaan maaf dari Gubernur Ganjar.
Menurut Herlambang, setiap otoritas perlu dimintai pertanggungjawabannya karena kekerasan di Wadas termasuk pelanggaran hak asasi manusia kategori kejahatan kemanusiaan. Sebab, melibatkan infrastruktur negara secara sistematis.
“Penyelesaiannya jangan seperti westafel (cuci tangan),” kata dia.
Dialog menurut dia seharusnya bukan hanya ditempatkan sebagai instrumen formal untuk memaksakan proyek pembangunan yang manipulatif.
“Ini masuk karakter wilayah otoritarianisme,” kata Herlambang soal insiden di Wadas.
Komentar