Jakarta b-oneindonesia– Terkait keterangan pers Menteri Erick Thohir pada (12/06) tentang alasan penunjukkan perwira aktif atau pun purnawirawan Polri-TNI untuk penyelesaian konflik pertanahan yang kerap melibatkan perusahaan-perusahaan plat merah tersebut, dinilai tidak tepat oleh KPA.
Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) dalam pernyataan resminya menilai langkah ini kontroversial dan merupakan langkah mundur ke belakang dalam usaha menghasilkan good corporate governance di tubuh BUMN. “Langkah ini tidak akan efektif menyelesaikan problem agraria kronis yang terjadi dan dapat kontraproduktif dengan situasi lapangan, baik di wilayah konflik agraria perkebunan maupun kehutanan”, dikutip dalam pernyataan resmi KPA yang diketahui Dewi Kartika selaku Sekjen KPA.
Lebih lanjut KPA menyampaikan bahwa Kerjasama sejumlah Kementerian/Lembaga dengan kepolisian dan militer saat ini seolah menjadi trend. Jika kita melihat ke belakang, di masa pemerintahan SBY (2007), Kepala BPN RI menggandeng Kapolri untuk menyelesaikan masalah pertanahan.
“Sayangnya, kita tidak melihat kerjasama-kerjasama tersebut menghasilkan Kementerian/Lembaga yang semakin memakai prosedur hukum yang baik dalam menjalankan pelayanan rakyat, termasuk perbaikan dalam menyidik lingkungan internalnya guna menyelesaikan berbagai kasus internal”, dikutip dalam pernyataan resmi KPA pada Jumat (3/7).
KPA menyebutkan bahwa langkah ini semakin mengarahkan pisau operasi hukum berhadapan dengan rakyat. Sebab, selama ini paradigma dan pendekatan yang digunakan pemerintah dalam melihat sejumlah konflik terkait asset khususnya tanah dominan menggunakan perspektif hukum positif (legal formal) semata. Sehingga pengamanan asset negara bersanding dengan pandangan stabilitas keamanan.
Padahal pendekatan ini telah digunakan secara terus-menerus menghasilkan korban di pihak rakyat kecil. KPA menilai Menteri BUMN tidak memahami akar masalah konflik agraria bersumber dari politik agraria dan hukum agraria di Indonesia sejak Orde Baru hingga reformasi sekarang. Bahkan banyak konflik agraria dengan asset BUMN adalah akibat dari menerus-neruskan politik agraria warisan kolonial. juga langkah Menteri BUMN akan memperparah konflik dan kekerasan agrarian.
KPA mencatat, sepanjang tahun 2019 di wilayah-wilayah konflik agraria di Indonesia, telah jatuh korban 258 orang petani dan aktivis agraria yang mengalami kriminalisasi, 211 orang mengalami penganiayaan, 24 orang tertembak dan 14 orang tewas. Tindakan kekerasan dan kriminalisasi tersebut didominasi oleh aparat kepolisian sebanyak 37 kasus, TNI 6 kasus, Satpol PP 6 kasus, dan petugas keamanan perusahaan sebanyak 15 kasus.
“Korupsi agraria di lingkaran BUMN tidak menjadi fondasi penyelesaian masalah pertanahan. Menteri harusnya sadar bahwa konflik agraria terkait BUMN yang berlarut, penerbitan ijin lokasi dan informasi HGU yang tertutup, bahkan operasi perkebunan yang tidak sesuai alas hak HGU-nya atau masih beroperasinya perusahaan tanpa mengantongi HGU adalah bukti bahwa masalah agraria di BUMN sarat kepentingan dan perilaku korup di berbagai aktor, baik pusat dan daerah. Jika pemilihan purnawirawan Polri-TNI menjadi “pisau” yang hendak diarahkan kepada internal pejabat BUMN dan kroninya untuk membersihkan BUMN dari korupsi agraria dan menyelamatkan asset negara dari para koruptor, maka seharusnya Menteri BUMN menggandeng juga KPK, Kejaksaan Agung, dan Ombudsman”, dikutip dari pernyataan resmi KPA.
Agenda Reforma Agraria tidak pernah menjadi kebijakan BUMN. Selama puluhan tahun konflik agraria rakyat vis a vis dengan PTPN, Perhutani, PT.KAI dan perusahaan lainnya telah diabaikan oleh Kementerian BUMN. Sedikit sekali yang bisa selesai, jika tak mau dibilang hanya 1-2 kasus tertentu saja, dibandingkan keberadaan gunung es konflik agraria masyarakat dengan perusahaan BUMN. Presiden Jokowi pada 24 Sepetember 2019, pada Hari Tani Nasional, pernah menyatakan di Istana bahwa konflik agraria dengan tanah negara (asset BUMN) gampang diselesaikan.
KPA mendesak Presiden dan Menteri BUMN agar segera membatalkan penempatan pejabat aktif maupun purnawirawan Polri-TNI di kursi-kursi strategis perusahaan BUMN untuk tujuan menyelesaikan konflik agraria dan pengamanan asset BUMN di wilayah konflik agraria serta memeriksa korupsi agraria di perusahaan-perusahaan BUMN (PTPN, PERHUTANI, dll) yang telah menyebabkan konflik agraria struktural, perampasan tanah masyarakat sekaligus kerugian Negara.
Urgensi berikutnya yang disampaikan oleh KPA adalah mencabut HGU dan melepaskan asset tanah BUMN yang terbit di atas tanah-tanah masyarakat, kampung, desa, pemukiman, persawahan, wilayah adat, yang telah merampas tanah-tanah masyarakat. KPA mendorong penyelesaian konflik agraria PTPN dan Perhutani dalam kerangka reforma agraria dengan pelibatan penuh masyarakat dan organisasi rakyat, bukan melibatkan Polri-TNI dan menghentikan campur-tangan Polri/TNI serta cara-cara kekerasan maupun intimidasi dalam penanganan konflik agaria.
Komentar