Puan Maharani menjawab kritik Megawati soal pembahasan sejumlah RUU di DPR RI, Sabtu (25/05/24)
Jakarta, B-Oneindonesia – Ketua DPR yang juga Ketua DPP PDIP Puan Maharani merespons kritik Ketua Umum Megawati Soekarnoputri yang juga ibunya soal pembahasan sejumlah RUU di DPR yang dinilai tidak sesuai prosedur.
Kritik Mega itu disampaikan di hadapan Puan pada pembukaan Rakernas V PDIP, Jumat (24/5). Mega terutama mengkritik pembahasan RUU Mahkamah Konstitusi (MK) yang digelar di masa reses anggota dewan saat Puan tengah kunjungan ke luar negeri.
Puan mengatakan ketidakhadirannya saat pengesahan tingkat satu RUU MK karena tengah dalam tugas lain sebagai Ketua DPR. Namun, dia mengatakan pembahasan RUU MK atas dilakukan atas sepengetahuan dirinya.
“Jadi memang semua hal yang terjadi di DPR tentu saja sudah sepengetahuan saya untuk bisa dilakukan di DPR,” kata Puan di sela-sela Rakernas PDIP di Ancol, Jakarta Utara, Sabtu (25/5).
Dia memastikan setiap pembahasan RUU juga telah dikoordinasikan antara fraksi-fraksi partai di DPR. Puan menyatakan ia terus mengawasi.
“Jadi itu salah satu tugas untuk saling mengawal, saling mengkoordinasikan dan dibicarakan bersama di DPR,” kata putri bungsu dari Megawati tersebut.
Selain RUU MK, Megawati juga menyinggung polemik RUU Penyiaran yang memuat klausul usulan larangan produk investigasi. Dia heran produk jurnalistik investigasi mau dilarang padahal telah diatur Dewan Pers.
DPR saat ini tengah merevisi sejumlah UU jelang periode pemerintahan berakhir pada Oktober 2024. Beberapa RUU yang dalam proses pembahasan yaitu RUU MK, RUU Penyiaran, dan RUU Polri.
Namun, sejumlah pembahasan RUU tersebut menuai kritik karena terkesan terburu-buru dan tidak transparan.
Anggota Constitutional and Administrative Law Society (CALS) Herdiansyah Hamzah ‘Castro’ menilai tindakan DPR yang tergesa-gesa membahas sejumlah RUU merupakan bentuk dari autocratic legalism, yakni penggunaan instrumen hukum untuk kepentingan kekuasaan, bahkan dengan melabrak prinsip-prinsip demokrasi.
Castro mengingatkan situasi saat ini sudah terjadi sejak Revisi UU KPK, Minerba, MK, hingga Omnibus Law Cipta Kerja.
“Jadi, UU dibuat hanya untuk kepentingan kekuasaan, tidak lagi mengabdi untuk kepentingan publik,” kata Castro.
Komentar