PB-Oneindonesia- Jakarta – Pemberitaaan polemik sistem pemilihan kepala daerah (Pilkada) merebak kembali. Menteri Dalam Negeri atau Mend agri Tito Karnavian mengatakan ingin mengkaji sistem pilkada langsung
Alasannya, sistem itu memiliki sisi negatif meskipun bermanfaat bagi partisipasi demokrasi. “Kita lihat sisi mudaratnya juga ada, politik biaya tinggi,” kata Tito di Kompleks DPR RI, Senayan, Jakarta pada Rabu pekan lalu, 6 November 2019.
Direktur Jenderal Otonomi Daerah Kemendagri Akmal Malik Piliang mengatakan, Tito memberi arahan agar membuat klaster daerah berdasarkan indeks kemajuan demokrasi. Dia menyebut adanya opsi pilkada tak langsung di beberapa daerah yang dianggap belum maju.
Saat ditanya usulannya, Tito mengatakan perlunya riset akademik untuk mengkaji dampak positif dan negatif pilkada langsung. “Lakukan riset akademik. Kami dari Kemendagri akan melakukan itu.” Ia tak menjelaskan apakah kajian itu mengarah pada perubahan sistem pilkada menjadi penunjukan oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.
Tergantung daerahnya. Kayak Jakarta, Jakarta, kan, sudah maju enggak mungkin DPRD lagi. Tapi kalau Papua, mungkinkah kembali ke DPRD lagi? Mungkin saja,” katanya saat ditemui di Kompleks Kementerian Dalam Negeri, Jakarta, Kamis, 7 November 2019.Wacana pilkada tak langsung ini sebenarnya pernah hampir diberlakukan di masa Presiden keenam Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). DPR RI kala itu mengesahkan UU Nomor 22 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota yang mengatur pelaksanaan pilkada tidak langsung oleh DPRD.
Ada pula UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah yang mengatur tugas dan wewenang DPRD provinsi untuk mengusulkan pengangkatan dan pemberhentian gubernur dan/atau wakil gubernur kepada presiden melalui menteri dalam negeri, untuk mendapatkan pengesahan pengangkatan dan/atau pemberhentian.
UU itu juga memberi tugas dan wewenang kepada DPRD kabupaten/kota untuk mengusulkan pengangkatan dan pemberhentian bupati/wali kota dan/atau wakil bupati/wakil wali kota kepada menteri dalam negeri melalui gubernur sebagai wakil pemerintah pusat, untuk mendapatkan pengesahan pengangkatan dan/atau pemberhentian.
Menuai banyak kritik, SBY merespons dengan menerbitkan dua peraturan pemerintah pengganti undang-undang (Perpu). Yaitu Perpu Nomor 1 Tahun 2014 yang sekaligus mencabut UU Nomor 22 Tahun 2014. Adapun berikutnya Perpu Nomor 2 Tahun 2014 yang berisi perubahan atas UU Nomor 23 Tahun 2014. Pilkada tak langsung pun urung berlaku.
Pernyataan Mendagri Tito itu pun menuai kritik lantaran ditengarai ingin menghapus sistem pilkada langsung. Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Titi Anggraini mengatakan evaluasi pilkada memang diperlukan, tetapi harus komprehensif dan partisipatif.
“Kalau problematika politik biaya tinggi, konklusinya jangan melompat menjadi mempertanyakan eksistensi pilkada langsungnya,” kata Titi kepada Tempo pada Kamis, 7 November 2019.
Titi mengatakan, solusi yang bisa ditawarkan misalnya pembatasan belanja kampanye, pembenahan akuntabilitas dana kampanye dengan skema yang bisa memberi efek jera pada paslon yang melanggar, penegakan hukum atas politik uang yang lebih tegas, pemberantasan praktik mahar politik, serta memberi ruang keterlibatan PPATK dan KPK dalam pencegahan dan penindakan korupsi politik.
Peneliti Centre for Strategic and International Studies (CSIS) Arya Fernandez menilai wacana pilkada tak langsung yang kembali dimunculkan ini bisa merusak kualitas demokrasi di Indonesia. Selain itu, sistem tak langsung ini juga akan merugikan partai menengah dan keci
Parlemen, Senayan.
Sebaliknya, Arya menilai partai pemenang seperti Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan akan diuntungkan. Partai banteng, kata dia, akan memiliki kendali cukup kuat untuk memenangkan kadernya melalui pilkada tak langsung.
“PDIP tentu sudah berhitung. Kalau dikembalikan ke DPRD tentu yang akan menguasai kepala daerah itu nanti hanya partai-partai besar,” ujarnya.
Sekretaris Jenderal PDIP Hasto Kristiyanto sudah mengisyaratkan setuju mengevaluasi sistem pilkada langsung. PDIP pun menyarankan pemilihan umum kembali ke sistem musyawarah mufakat tanpa voting. “Sistem politik, sistem kepartaian, dan sistem pemilu harus senafas dengan demokrasi Pancasila yang mengandung elemen pokok perwakilan, gotong royong, dan musyawarah,” ujar Hasto Kristiyanto Jumat, 8 November 2019.
Ketua Komisi II Dewan Perwakilan Rakyat Ahmad Doli Kurnia mengatakan tak akan terburu-buru mengevaluasi sistem pilkada. Dia juga mengklaim tak akan mengabaikan prinsip dasar demokrasi.
“Demokrasi menjadi bagian pembangunan sistem politik kita,” kata politikus Partai Golkar itu, Jumat, 8 November 2019.
Staf Khusus Presiden bidang Komunikasi, Fadjroel Rachman, mengatakan Presiden Joko Widodo atau Jokowi menyatakan sikap pemerintah ingin Pilkada tetap dilakukan secara langsung. Menurut Fadjroel, pemilihan secara langsung merupakan cermin kedaulatan rakyat atau demokrasi yang sejalan dengan cita-cita Reformasi 1998. “Presiden Jokowi mengatakan ‘Pilkada provinsi/kabupaten/kota tetap melalui mekanisme pemilihan langsung’,” kata Fadjroel, Selasa, 12 November 2019.
Komentar