Jakarta, b-Oneindonesia – Ini tentang Bung Karno Sang Proklamator, dan sekaligus mata air pemikiran kebangsaan yang tak pernah kering. Menurut teman saya, Hasto Kristiyanto, Indonesia merdeka karena visi besar para pendiri bangsa. Tapi Indonesia menjadi bangsa besar karena imajinasi.
Itulah yang menonjol pada sosok Bung Karno, ketika ia menggali Pancasila, ketika menggagas Konferensi Asia-Afrika untuk membangun dunia baru tanpa imperialisme, kolonialisme, dan neo-kolonialisme ketika mendorong bangsa-bangsa lain di Asia-Afrika untuk berani memproklamasikan kemerdekaan seperti Maroko, Tunisia, Aljazair, dan Pakistan. Itu hanya bisa lahir dari orang yang punya imajinasi, lanjut Hasto.
Saya setuju. Tidak setiap orang, termasuk para pemikir, punya imajinasi. Pikiran adalah bumi, imajinasi adalah cakrawala. Pikiran bisa dibatasi oleh pagar besi, atap bangunan, tradisi, dogma, dan semacamnya. Tapi imajinasi tidak.
Bung Karno adalah seorang pembaca yang tekun. Bacaannya bukan hanya karya-karya intelektual namun juga karya-karya sastra. Saya kira yang terakhir inilah yang berperan besar dalam membentangkan cakrawala imajinasi Bung Karno. Sastra pula yang membuat tulisan-tulisannya bernyawa, bertenaga, dan terus hidup.
Dalam suatu sesi sidang di Majelis Konstituante, Bung Karno membahas novel (puisi epik) The Divine Comedy karya sastrawan Italia abad pertengahan Dante Alighieri yang ia anologikan dengan jalannya revolusi Indonesia. Saya kira itu menarik. Bagaimana seorang presiden masih menyempatkan diri membaca karya sastra. Dan dari situ pula ia menggali berbagai inspirasi.
Tanggal 6 Juni lalu, bertepatan dengan hari lahir si Bung Besar itu, Hasto Kristiyanto, berhasil mempertahankan disertasinya di Universitas Pertahanan (Unhan), Sentul, Bogor, Jawa Barat. Disertasinya yang berjudul. “Diskursus Pemikiran Geopoliitik Soekarno dan Relevansinya terhadap Pertahanan Negara” diganjar dengan predikat kelulusan tertinggi “summa cum laude.”
Kemarin lusa, Jumat malam saya memenuhi undangan Sekjen DPP PDI-Perjuangan untuk bertemu di basecamp-nya di Menteng. Kami membicarakan satu dua hal, dan tentu juga mendiskusikan disertasinya tsb dengan “disaksikan” oleh Bung Karno dan Ibu Megawati.
Diskusi lainnya seputar “api Islam” Bung Karno — ini istilah Soekarno sendiri untuk memberi jiwa pada tulisan-tulisannya mengenai Islam. Mas Hasto meminta saya untuk memikirkan kembali api Islam, dan mewujudkannya dalam bentuk program. Ia tahu saya pernah menulis buku dengan judul Api Islam, yang melihat benang merah pemikiran Cak Nur dan Bung Karno. Kapan dan seperti apa programnya? Ya tunggu saja tanggal mainnya.
Ahmad Gaus.
Komentar