Jakarta, b-oneindonesia- Pengamat hukum tata negara dari UIN Yogyakarta Hifdzil Alim menilai pemerintah dan DPR harus memiliki satu persepsi mengenai omnibus law agar proses legislasi di parlemen dapat berjalan mulus. “Jika tidak ada persepsi yang sama antara pemerintah dan DPR bisa repot,” ujar Hifdzil, Jumat (1/11).
Menurut dia, sebagai pihak yang berwenang untuk membentuk undang-undang, peran DPR sangat menentukan terkait terbit tidaknya omnibus law. Bila tidak ada kesamaan perspektif politik antara Pemerintah dan DPR terkait omnibus law, maka bukan tidak mungkin aturan hukum yang digadang-gadang oleh Presiden Joko Widodo sebagai kunci menuju Indonesia maju itu tidak terlaksana.
“Kalau DPR-nya tidak sejalan dengan pemerintah ya tidak bisa dibuat omnibus law itu,” ucap pria yang juga menjabat sebagai Direktur HICON Law & Policy Strategies tersebut.
Oleh karena itu, Hifdzil meminta kepada pemerintah untuk mulai melakukan komunikasi atau lobi-lobi dengan anggota dewan guna mensinergikan pandangan mengenai omnibus law.
Terkait pembentukan omnibus law, Hifdzil berpendapat proses yang ditempuh tidak akan mudah, mengingat masih banyak regulasi sektoral di tiap-tiap kementerian. Hifdzil menyarakan agar kebijakan membuat omnibus law dimulai dengan mengoptimalkan kementerian koordinator.
“Misalnya untuk kementerian koordinator ekonomi, maka semua kementerian di sektor ekonomi diminta untuk melakukan pendataan regulasinya. Kemudian regulasi itu direview. Aturan umum dan basic dari regulasi-regulasi tersebut menjadi materi untuk pembentukan omnibus law,” ujar dia.
Sebelumnya, Menkumham Yasonna H Laoly menyebutkan sudah berkoordinasi dengan Menko Polhukam Mahfud MD soal omnibus law. Terkait omnibus law, Yasonna mengaku sudah memanggil beberapa pejabat eselon 1 di Kemenkumham untuk fokus dan mengambil langkah-langkah yang dibutuhkan.
“Saya langsung kemarin memanggil beberapa pimpinan eselon I untuk fokus segera mengambil langkah-langkah yang dibutuhkan untuk mempercepat omnibus law yang disampaikan Bapak Presiden pada waktu pidato pertama beliau pada pelantikan presiden di sidang paripurna MPR yang lalu,” ujarnya.
Pada 20 Oktober 2019 di hadapan sidang umum paripurna MPR, Presiden RI Joko Widodo mengatakan pemerintah akan mengajak DPR untuk menerbitkan dua undang-undang besar. Pertama, UU Cipta Lapangan Kerja. Kedua, UU Pemberdayaan UMKM.
Masing-masing UU tersebut akan menjadi “omnibus law”, yaitu satu UU yang sekaligus merevisi beberapa UU, bahkan puluhan UU. Puluhan UU yang menghambat penciptaan lapangan kerja langsung direvisi sekaligus. Puluhan UU yang menghambat pengembangan UMKM juga akan langsung direvisi.
Sebelumnya pakar hukum tata negara dan Dosen FH Universitas Udayana, Jimmy Z Usfunan, mengingatkan Jokowi diminta tidak bergantung pada UU Omnibus saja. Secara logika, UU Omnibus tidak mungkin dapat menyelesaikan persoalan regulasi, sebab tumpang tindih aturan hingga rumitnya perizinan sudah sangat kompleks. Perlu ada upaya lain agar penyelesaian permasalahan regulasi tersebut maksimal. Hal ini disampaikan pakar hukum tata negara dan Dosen FH Universitas Udayana, Jimmy Z Usfunan.
Menurut Jimmy, pemerintah seharusnya memerlukan lembaga khusus menangani persoalan regulasi ini, seperti yang dijanjikan dalam debat capres dan pidato kenegaraan 16 Agustus. Sayangnya, dalam pembentukan kabinet Jokowi-Ma’aruf tidak terlihat penyusunan lembaga tersebut.
“Ironinya, janji Presiden dalam debat Capres pertama dan pidato kenegaraan tanggal 16 Agustus soal lembaga khusus menangani regulasi tidak nampak dalam skema penyusunan kabinet Indonesia Maju. Ditambah lagi Presiden seolah beranggapan penyelesaian regulasi di Indonesia dapat dilakukan dengan Omnibus Law, tanpa lembaga khusus regulasi,” jelas Jimmy.
Jimmy juga mengingatkan penyusunan Omnibus Law pada sektor perizinan investasi ini bukan hal mudah. Pasalnya, terdapat banyak peraturan perizinan investasi yang tersebar dalam berbagai UU. Sehingga, pemerintah harus jeli menyusunnya agar tidak menimbulkan ketidakpastian hukum pada publik.
Komentar