Dr. Filep Wamafma, SH., M.Hum
Jakarta, b-Oneindonesia – Pada tahun 2020, salah satu penelitian Mumu Muhajir, dkk., menyebutkan bahwa sumbangan SDA pada pembangunan ekonomi Indonesia sangatlah signifikan. Sektor SDA ini menyumbang kurang lebih 50 persen ekspor, terutama dari sektor minyak bumi dan gas alam (migas), mineral dan batubara (minerba), minyak sawit mentah/crude palm oil (CPO), karet, serta makanan.
Kesadaran akan besarnya sumbangan SDA bagi kesejahteraan juga telah ada sejak lahirnya Konstitusi. Hal itu sebagaimana tertuang dalam Pasal 33 UUD 1945. Namun, kekayaan Sumber Daya Alam yang ada akan memberikan kesejahteraan jika dikelola dengan tepat dan adil. Masing – masing daerah diberikan kewenangan untuk mengelola sebagaimana asas desentralisasi yang dimuat oleh UU dengan pengecualiaan beberapa hal saja.
Terkait itu, setidaknya dalam Pasal 27 UU Pemda disebutkan beberapa hal; (1) Daerah provinsi diberi kewenangan untuk mengelola sumber daya alam di laut yang ada di wilayahnya. (2) Kewenangan Daerah provinsi untuk mengelola sumber daya alam di laut sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi: a. eksplorasi, eksploitasi, konservasi, dan pengelolaan kekayaan laut di luar minyak dan gas bumi; b. pengaturan administratif; c. pengaturan tata ruang; d. ikut serta dalam memelihara keamanan di laut; dan e. ikut serta dalam mempertahankan kedaulatan negara.
Disisi lain, lahirnya UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja seharusnya tidak serta merta menghilangkan kekhususan sebagian wilayah seperti Papua, dan daerah otonomi khusus lainnya. Kita memahami bahwa iklim ekosistem investasi di Indonesia diarahkan pada perbaikan tenaga kerja, penyederhanaan regulasi, pemberdayaan koperasi dan usaha mikro, kecil, dan menengah, dan percepatan proyek strategis nasional. Namun, kekhawatiran terhadap deforestasi, kehancuran SDA, pembatasan pengelolaan SDA oleh Pemda, menjadi PR yang tidak boleh disederhanakan.
Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK, 2020), memberikan beberapa kritik atas UU Cipta Kerja terkait SDA. Beberapa kritik yang diutarakan diantaranya; (1) dinilai tidak ramah lingkungan dan mengancam masyarakat marjinal, yang dapat dilihat dari adanya berbagai kelonggaran persyaratan lingkungan hidup bagi pelaku usaha. (2) Dari segi pengelolaan limbah, UU Cipta Kerja membolehkan orang perorangan atau badan usaha membuang limbah pengelolaan bahan berbahaya dan beracun (B3) di sungai, laut, dan memasukkan ke tanah dengan izin dari pemerintah. (3) UU Cipta Kerja mengubah Pasal 16 UU Perkebunan yang memberikan batasan maksimal 3 tahun dan 6 tahun sejak mendapatkan status hak atas tanah bagi pelaku usaha untuk mengusahakan lahan perkebunannya. batasan waktu itu lalu dipersingkat menjadi 2 tahun sejak mendapatkan status hak atas tanah. UU Cipta Kerja tidak mengubah konsekuensi bagi pelaku usaha dalam hal pengusahaan itu tidak dilakukan, yaitu pengambilalihan bagian lahan perkebunan yang belum diusahakan.
Namun, sanksi administratif atas pelanggaran itu, yang sebelumnya diatur dalam Pasal 18 UU Perkebunan, kini ditiadakan oleh UU Cipta Kerja. (4) Perubahan pengaturan dalam UU Cipta Kerja berpotensi menyebabkan terjadinya eksploitasi SDA secara berlebihan yang mengakibatkan rusaknya lingkungan hidup dan mengancam masyarakat.
Seolah tak peduli dengan kritik masyarakat, Pemerintah mengeluarkan kurang lebih 49 PP yang mendukung pelaksanaan investasi dan/atau pengelolaan SDA tersebut.
Bagaimana dengan nasib Papua/Papua Barat sebagai daerah dengan Otonomi Khusus (Otsus), yang kini telah mulai menjalankan UU Nomor 2 Tahun 2021 tentang Perubahan atas UU Nomor 21 Tahun 2021 tentang Otsus bagi Provinsi Papua?
Kehadiran Pasal 17 UU Cipta Kerja yang memangkas kewenangan Pemda dalam hal tata ruang, akan cukup berpengaruh terhadap penetapan Kawasan Ekonomi Khusus, misalnya di Sorong. Wewenang Pemda dalam penyelenggaran penataan ruang hanya meliputi pengaturan, pembinaan, dan pengawasan terhadap pelaksanaan penataan ruang wilayah provinsi, dan kabupaten/kota.
Dalam UU Nomor 6 Tahun 2007 tentang Tata Ruang, dijelaskan bahwa Pemda masih diberikan kewenangan dalam perencanaan tata ruang wilayah provinsi, pemanfaatan ruang wilayah provinsi, dan pengendalian pemanfaatan ruang wilayah provinsi. Pemda juga diberi kewenangan untuk penetapan kawasan strategis provinsi, perencanaan tata ruang kawasan strategis, pemanfaatan ruang kawasan strategis, serta pengendalian pemanfaatan ruang kawasan strategis. Namun kewenangan itu tidak dicantumkan dalam UU Cipta Kerja.
Pemangkasan ini menjadikan Pemda hanya sekadar sebagai penonton, dan dengan demikian menegasikan posisi Otsus yang seharusnya afirmasi diberikan kepada Pemda untuk mengelola daerahnya.
Selain itu, UU Cipta Kerja menegaskan bahwa sejumlah kewenangan Pemerintah Pusat meliputi perencanaan, pengendalian, pemanfaatan, dan penetapan ruang wilayah nasional, dan wewenang Pemerintah Daerah, dibatasi sesuai norma, standar, prosedur dan kriteria yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat, yaitu berupa pengaturan, pelaksanaan, dan kerjasama antarprovinsi.
Pasal tersebut kemudian menyamaratakan semua jenis norma, standar, prosedur, dan kriteria, selama berkaitan dengan kebijakan nasional. Penyamarataan semua jenis norma, standar, prosedur, dan kriteria, selama berkaitan dengan kebijakan nasional tersebut akan menghilangkan makna “kekhususan” Papua/Papua Barat. Lalu apa gunanya UU Otsus yang baru dibuat?
Sebagaimana diketahui, Pasal 38 ayat (2) UU Otsus yang baru menyebutkan bahwa usaha-usaha perekonomian di Provinsi Papua yang memanfaatkan sumber daya alam dilakukan dengan tetap menghormati hak-hak masyarakat adat, memberikan jaminan kepastian hukum bagi pengusaha, serta prinsip-prinsip pelestarian lingkungan, dan pembangunan yang berkelanjutan yang pengaturannya ditetapkan dengan Perdasus. Frasa tersebut bermakna bahwa semua komitmen Pemerintah yang berkaitan dengan hal tersebut, harus diselesaikan secara bermartabat demi masyarakat adat itu sendiri.
Hal itu juga ditegaskan dalam Pasal 42 UU Otsus, yang isinya adalah: (1) Pembangunan perekonomian berbasis kerakyatan dilaksanakan dengan memberikan kesempatan yang seluas-luasnya kepada masyarakat adat dan/atau masyarakat setempat. (2) Penanam modal yang melakukan investasi di wilayah Provinsi Papua harus mengakui dan menghormati hak-hak masyarakat adat setempat. (3) Perundingan yang dilakukan antara Pemerintah Provinsi, Kabupaten/Kota, dan penanam modal harus melibatkan masyarakat adat setempat. (4) Pemberian kesempatan berusaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dalam kerangka pemberdayaan masyarakat adat agar dapat berperan dalam perekonomian seluas-luasnya.
Hal di atas diperparah dengan isi Pasal 22 UU Cipta Kerja yang membatasi peran Pemda dalam hal pemberian izin lingkungan untuk pengusaha (Analisis Mengenai Dampak Lingkungan/AMDAL). Padahal Papua Barat sudah memiliki Perdasus Nomor 10 Tahun 2019 tentang Rencana Pembangunan Berkelanjutan, sebagai perwujudan dari komitmen Pemda Provinsi atas Deklarasi menjadi Provinsi Konservasi, sejak 29 November 2019, untuk melindungi 70% hutan dan 90% habitat laut.
Sekarang yang menjadi pertanyaan serius ialah, dapatkah Pemda Provinsi Papua/Papua Barat, atas nama kekhususan, mampu memperjuangkan hak-hak atas pengelolaan SDA?
Seharusnya, atas nama kekhususan dan lex specialis derogat legi generalis, pengelolaan SDA di Papua/Papua Barat mengikuti pengaturan UU Otsus. Dengan kata lain, atas nama otsus, justru peran pemerintah pusat-lah yang harus dibatasi, dan peran Pemda bersama masyarakat lokal diangkat dan dimajukan.
Di sini, dibutuhkan energi yang lebih besar dari Pemda untuk sedikit “memaksakan” label kekhususan Papua/Papua Barat dalam hal pengelolaan SDA.
Beberapa prinsip umum pengelolaan SDA, misalnya terkait keselamatan lingkungan, tetap diikuti; namun pengaturan soal prosedur perizinan, bagi hasil, pajak daerah, seharusnya memberikan peran yang seluasnya bagi Pemda dan masyarakat (adat) Papua/Papua Barat.
Komentar