Tiga Catatan Fungsi Legislasi
Berupaya memulihkan kepercayaan masyarakat terhadap DPR, meningkatkan kuantitas dan kualitas legislasi, hingga membangun sistem partisipasi masyarakat dalam pembahasan RUU.
Setelah dilantik pada 1 Oktober lalu, Anggota DPR periode 2019-2024 mulai bekerja menyusun alat kelengkapan dewan sebagai bagian menjalankan fungsi DPR yakni legislasi, pengawasan, dan anggaran. Tantangan DPR dalam 5 tahun ke depan diperkirakan semakin berat dan tidak mudah. Terutama dalam menjalankan fungsi legislasi yang kinerja DPR periode sebelumnya dinilai tidak optimal.
Peneliti senior Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK) Indonesia Muhammad Nur Sholikin menilai DPR di bawah kepemimpinan Puan Maharani memiliki pekerjaan rumah yang cukup berat. Capaian kinerja bidang legislasi DPR periode 2014-2019 mengalami penurunan dibandingkan DPR periode 2009-2014.
“Bila DPR 2014-2019 mengklaim hanya mampu menyelesaikan 91 RUU Prolegnas dan kumulatif terbuka. Sementara DPR periode 2009-2014 mampu menyelesaikan 125 RUU,” ujar M. Sholikin.
Belum lagi, banyak “warisan” sejumlah Rancangan Undang-Undang (RUU) yang belum rampung pembahasannya dan dilanjutkan DPR periode saat ini. Hal ini tentu menjadi beban berat DPR periode 2019-2024 sekaligus beban minimnya kepercayaan masyarakat terhadap pelaksanaan fungsi legislasi DPR ke depan.
Karena itu, saran dia, DPR lima tahun ke depan harus berupaya memulihkan kepercayaan masyarakat dengan memperbaiki kinerja legislasi DPR bersama pemerintah. Terutama di tahap awal, perencanaan legislasi melalui penyusunan prolegnas lima tahunan dan prolegnas prioritas tahunan. “Penyusunan prolegnas harus realistis dengan berkaca dari kegagalan periode-periode sebelumnya dalam hal capaian target,” kata dia.
Selain itu, perencanaan legislasi harus mempertimbangkan kembali sejumlah RUU di periode sebelumnya yang dapat dilanjutkan pembahasannya pada periode saat ini, khususnya sejumlah RUU kontroversial yang mengalami penundaan pengesahan. Hal ini sebagai konsekuensi disahkannya revisi UU No.12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, khususnya yang mengatur mekanisme carry over.
“Terdapat sejumlah RUU yang menimbulkan kontroversi di masyarakat, seperti RKUHP, revisi UU No.12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan yang dipastikan kelanjutan pembahasannya bakal diambil alih DPR periode 2019-2024. Ini tantangan berat yang harus diselesaikan periode ini,” kata mantan Direktur Eksekutif PSHK ini.
Bangun sistem partisipasi publik
Peneliti senior Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi) Lucius Karius mengatakan selain soal kuantitas, tantangan DPR periode 2019-2024 adalah mereka harus bisa membuktikan kualitas produk legislasi yang dihasilkan setelah beberapa RUU yang akan disahkan di penghujung periode lalu mendapat kritikan dari publik yang akhirnya ditunda. Begitu pula soal buruknya substansi revisi UU KPK yang dikebut untuk disahkan.
Hal itu terlihat dari beberapa RUU yang telah disahkan menjadi UU berujung uji materi ke Mahkamah Konstitusi (MK). “Masalahnya, saat pembahasan RUU di hulu tidak maksimal melibatkan peran serta publik. Ironisnya, masukan masyarakat terkadang tidak diakomodir dalam RUU,” kritiknya.
Dia menyarankan di tahun pertama DPR harus memprioritaskan penyelesaian sejumlah RUU kontroversial. Seperti RKUHP, RUU Pemasyarakatan, RUU Pertanahan, RUU tentang Minerba. “DPR harus fokus pada RUU-RUU ini di tahun pertama,” kata dia.
Lucius mensinyalir ada beberapa RUU yang bakal dibuat demi kepentingan program kerja pemerintah lima tahun mendatang. Seperti RUU Minerba, RUU Pertanahan, hingga RUU tentang Pemindahan Ibukota Negara. Baginya, pembahasan sejumlah RUU itu berpotensi rentan transaksional. “Itu sebabnya sejak awal pembahasan, publik seharusnya dilibatkan,” lanjutnya.
Menurutnya, legislasi yang berkualitas semestinya mempertimbangkan aspirasi publik/masyarakat. Sebab, sebuah aturan berupa UU yang berlaku mengikat semua warga masyarakat. Karena itu, pembahasan RUU mesti mengakomodir kepentingan semua pihak. “Bukan hanya mengakomodasi kepentingan politik DPR, tapi juga melibatkan partisipasi publik yang luas dalam proses pembahasannya guna menyerap aspirasinya,” tegasnya.
Sholikin melanjutkan tertundanya pengesahan sejumlah RUU, seperti RKUHP dan RUU Pemasyarakatan disebabkan minimnya membuka ruang partisipasi masyarakat yang lebih luas. Salah satu catatan evaluasi dari DPR periode sebelumnya, hak masyarakat berpartisipasi dalam pembahasan RUU tidak dipenuhi dengan baik oleh DPR termasuk pemerintah.
Dia mencatat ada sejumlah RUU yang dibahas secara tertutup oleh Panitia Kerja (Panja) bersama pemerintah. Tak ada akses informasi dan dokumentasi yang tersedia bagi masyarakat. Bahkan, tak ada ruang diskusi antara pembahas RUU dengan masyarakat. Dia berharap DPR ke depan harus serius membangun sistem partisipasi masyarakat dalam proses legislasi.
“Penyediaan informasi dan pelibatan masyarakat dalam pembahasan RUU harus menjadi bagian penting,” katanya.
Komentar