Jakarta b-oneindonesia– Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Siti Nurbaya, menjadi panelis pada Sesi High Level Panel (HLP) yang merupakan acara pembuka Chatham House Virtual Event: Global Forum on Forest Governance yang dilaksanakan pada 13 Juli 2020 melalui aplikasi zoom webinar. Diskusi Panel yang diselenggarakan oleh the Royal Institute of International Affairs (Chatham House), sebuah Lembaga think tank bereputasi internasional yang bermarkas di London tersebut mengundang Menteri LHK untuk berbagi pengalaman meningkatkan tata kelola kehutanan Indonesia melalui reformasi pengelolaan hutan dan lahan serta kemitraan global untuk mencapai perdagangan hasil hutan yang berkelanjutan dan mendukung agenda iklim dan keanekaragaman hayati dunia.
Dalam pernyataan pembukanya, Menteri Siti menegaskan bahwa sebagai negara yang diberkahi dengan sumber daya hutan yang luas dan keanekaragaman hayati yang berlimpah, Indonesia terus melakukan pembenahan tata kelola baik dari sisi pemanfaatan hasil hutan dan konservasi ekosistem, maupun dari sisi perlindungan hutan dari aktivitas ilegal seperti pembalakan liar dan perdagangan tanpa izin. Dalam hal ini, Sistem Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK) merupakan salah satu instrumen penting dalam mendukung upaya peningkatan tata kelola hutan lestari tersebut.
“Pelajaran yang dapat diambil oleh negara-negara di dunia dari pengembangan SVLK adalah pentingnya komitmen jangka panjang para pihak dari lintas sektor terkait dalam mendukung SVLK dan terus menerus diperbaiki sesuai dengan dinamika sektoral, implementasi SVLK mampu mendukung upaya pemberantasan pembalakan liar dan perdagangan ilegal, implementasi SVLK membantu mengembalikan kepercayaan pasar atas produk kayu Indonesia yang berasal dari sumber-sumber yang legal dan berkelanjutan, dan keberterimaan SVLK di pasar internasional tidak terlepas dari pelibatan para pihak terkait dalam pengembangan dan implementasi sistem, keberadaan pihak ketiga berupa Lembaga independen yang terakreditasi dalam pelaksanaan verifikasi dan sertifikasi, serta pelaksanaan pemantauan oleh suatu konsorsium pemantau independen,” demikian ditekankan Menteri Siti Nurbaya.
Sementara itu, Lord Zac Goldsmith, Minister of State for the Pacific, International Environment, Climate and Forests, and Animal Welfare, UK menyatakan bahwa Inggris sebagai tuan rumah COP 26 UNFCCC mengajak negara-negara untuk meningkatkan ambisi untuk mengatasi perubahan iklim global. Inggris juga mengingatkan bahwa kehilangan keanekaragaman hayati merupakan isu yang juga harus ditangani bersama. Untuk itu nature-based solutions merupakan salah satu upaya yang harus dikolaborasikan untuk menangani masalah iklim dan keaneakaragaman hayati, sekaligus untuk tetap mempertahankan pertumbuhan ekonomi yang berkelajutan. Jika ini bisa kita laksanakan maka kita dapat bersama-sama mengatasi masalah global saat ini.
Sementara itu Pierre Taty, mewakili Ministry of Forest Economy and the Environment, menjelaskan bahwa Republik Kongo memiliki visi 2060 untuk mempertahankan kelestarian hutan dengan menyeimbangkan antara kepentingan ekologi, ekonomi dan sosial. Lebih lanjut Republik Kongo mengajak kemitraan global untuk mendukung reformasi kehutanan di Kongo baik dalam bentuk dukungan teknis maupun finansial yang pada gilirannya akan dapat mengurangi emisi dari hutan dan mampu meningkatkan kapasitas adaptasi masyarakat melalui berbagai program seperti agro-ekologi dan agroforestry. Pada akhirnya diharapkan dapat tercapai keseimbangan antara perlindungan hutan, pemanfaatan sumber daya hutan dan peningkatan kapasitas masyarakat.
Sedangkan Chui Shuhong, Director General of Environmental Impact Assessment, Ministry of Ecology and Environment – China, menyatakan bahwa Tiongkok dan Selandia Baru bersama-sama menginisiasi nature-based solutions (NBS) untuk bersama-sama para pihak agar mengoptimalkan peran ekosistem dalam menangani masalah perubahan iklim dengan tetap mempertahankan kepentingan ekonomi. Terkait dengan ekosistem rawan, maka perlindungan atas keberadaanya merupakan sebuah keharusan untuk melindungi keanekaragaman hayati dan sumber daya lainnya.
Profesor Zhang Jiaping, Director General of the Institute for Western Asia and Africa at the Chinese Academy of International Trade and Economic Cooperation (MOFCOM), menyatakan bahwa saat ini forum-forum perdagangan internasional juga mempertimbangkan kelestarian lingkungan dalam memproduksi dan memperdagangkan komoditas. Dalam hal ini sertifikasi komoditas yang ramah lingkungan merupakan instrumen penting.
Menjawab pertanyaan terkait dengan pengaruh pandemi Covid-19 pada upaya Indonesia menjaga perdagangan yang legal dan berkelanjutan atas hasil hutan Indonesia, Menteri Siti menyatakan bahwa Indonesia berusaha untuk mempertahankan kondisi sektor kehutanan sestabil mungkin dengan memberikan fasilitas kemudahan-kemudahan bagi para pelaku usaha kehutanan seperti penundaan pembayaran angsuran pinjaman, mengoptimalkan APBN untuk kegiatan-kegiatan padat karya, dan melaksanakan kegiatan e-learning untuk para pelaku bisnis kehutanan, terutama para petani hutan yang mendapatkan izin perhutanan sosial.
“Kami memastikan bahwa satwa liar yang ada di area konservasi ex-situ memperoleh pakan yang cukup. Kami membantu para pelaku usaha produksi hasil hutan bukan kayu, seperti essential oil, untuk meningkatkan kapasitas marketing dan meningkatkan kualitas produk. Kami juga tetap melaksanakan penegakan hukum untuk memberantas perambahan, pembalakan liar dan perdagangan tak berizin dengan tetap mengedepankan restorative justice jika memang sesuai dengan keadaan. Kami menawarkan forest healing activities untuk tetap mempertahankan kunjungan wisata ke hutan dengan tetap memperhatikan protokol Covid-19,” tegas Menteri Siti.
Merespon beberapa pertanyaan dari peserta, Menteri Siti Nurbaya menegaskan bahwa SVLK merupakan salah satu upaya untuk memperbaiki tata kelola penggunaan lahan di Indonesia dan dapat menjadi rujukan bagi komoditas lainnya untuk memastikan kelestarian sepanjang rantai pasoknya. Di samping itu, dalam menjawab pertanyaan terkait dengan pengentasan kemiskinan, Menteri Siti menegaskan bahwa Indonesia saat ini melakukaan percepatan program perhutanan sosial yang telah ditargetkan seluas 12,7 juta hektar dan saat ini telah mencapai 4,1 juta hektar yang mencakup lebih dari 800.000 kepala keluarga.
Dalam video conference tersebut, Menteri LHK didampingi secara langsung oleh Kepala Badan Penelitian, Pengembangan dan Inovasi (Agus Justianto), Tenaga Ahli Menteri Bidang Kebijakan Pengembangan Jaringan Kerja Sama Luar Negeri (Sri Murniningtyas) dan Kepala Biro Kerja Sama Luar Negeri (Teguh Rahardja) serta Kepala Bagian Kerjasama Multilateral (Zahrul Muttaqin). Di samping itu, sejumlah pejabat KLHK juga hadir melalui platform zoom webinar .
Komentar